Minggu, 21 Agustus 2011

Satya Lencana Karya Satya

Semula saya berfikir bahwa setiap detik yang kulalui dalam hidup ini adalah anugerah. Yang kutahu hanya satu anugerah, pemberian, berkat dan kasih setia.
Kemudian saya merenung dan merenung lagi, ternyata saya memperoleh banyak anugerah, sejak lahir hingga genap berusia 60 tahun. anugerah dipersunting oleh suami, anugerah memperoleh gelar akademis, anugerah memperoleh putra dan putri dan banyak lagi yang tidak mungkin saya tulis di sini. Terakhir di usia ke enam puluh tahun seiring dengan usia kemerdekaan RI ke 66 tahun, saya mendapatkan anugerah yang disebut dengan " Satya lencana karya 30 tahun" Wooouuu. rasanya hati ini campur aduk, adatanda tanya
" apa yang telah kuperbuat bagi bangsa ini? apakah setelah mendapatkan satya lencana ini masih ada yang dapat kulakukan bagi negeri ini? dan bagaimana agar penganugerahan satya lencana inimenjadi bermakna bagi orang orang yang menyaksikannya?
selain itu saya merenungkan lagi:" Ah.. ternyata yang memperoleh satya lencana ada 98 orang dari satu Kementerian di Kemdiknas. Yang mendapatkan satya lencana 30 tahun ada empat orang, termasuk saya . Ohhh beruntung sampai 30 tahun dapat berkarya sebagai pegawai negeri, setidaknya dapat memengaruhi gaji pensiun 75% gaji yang selama ini kuterima . Itulah salah satu keberuntunganku. Terima kasih Tuhan!
Sekarang saya sedang berpikir tiga langkah ke depan . Langkah pertama Tidak ada kata pensiun dalam berkarya; langkah ke dua usia 60 tahun berarti bijaksana dalam bertindak,langkah ketiga siapkan langkah untuk menuai , karena sawah sudah mulai menguning.Tuaian memang banyak tetapi pekerjanya sedikit. Saya akan mulai menuai.Itulah makna Satya lencana karya satya.

Minggu, 14 Agustus 2011

Apakah ibadah saya sudah benar benar ibadah?

Hari ini saya mengikuti dua kali ibadah. Subuh di HKBP Perumnas II Bekasi:Siang di Duta Injil Graha BIP Gatot Subroto.
Khotbah yang saya dapatkan benar benar menggugah saya untuk menuliskan ini sebelum terlupakan .Sebab saya sendiri merasa, sering ibadah di gereja dan mendengarkan khotbah , belum tentu berpengaruh dalam berperi laku yang memerdekakan.
Enam puluh tahun kurang dua hari usiaku sekarang. Saya rasa jika dikalikan 56 x minggu dalam setahun di kalikan 60 kali ibadah , belum termasuk hari hari besar seperti perayaan Natal, Jumat agung, paskah dan lainnya termasuk kebaktian wilayah, persekutuan wanita dan lainnya, kurang lebih 3360 kali saya telah mengikuti ibadah.
Setiap khotbah diakhiri dengan doa berkat " pulanglah dengan sejahtera" Saya bayangkan seandainya satu sifat kedagingan yang menghambat kesejahteraan dapat saya hilangkan dalam satu kali ibadah ,( sifat sifat kedagingan antara lain perilaku malas, marah,makian, sombong, egois, tidak sabar, kasar, menggerutu, tidak sabar, kurang ramah, berkata kasar, mendukakan hati teman, melawan dan seribu satu macam yang tidak rohani) wah... betapa bahagianya orang orang di sekitar saya.
Saya pasti menjadi khotbah yang hidup yang tak perlu bicara, sebab semua yang mengenal saya akan belajar dari pola hidup dan perilaku saya.
ternyata di usia yang ke enampuluh ini, saya belum mampu melepaskan sifat sifat ke dagingan itu .
Betapa malangnya aku ini,Berapa lama lagi saya dapat menikmati kehidupan ini dan apa yang harus kulakukan bila saatnya aku harus kembali ke alam baka?
Saya lalu teringat lagu gereja yang sering dinyanyikan almarhum bapa kami:"
Tudia ho .. dung mate ho? Alusi ma.. alusi ma!Jempek tingkim ujungna ro, tudia ho dung mate ho , sai pingkirma tu dia ho" ( Kemana kah kau jika meninggal?Jawablah kemana engkau? Waktumu di dunia singkat, ke mana kau setelah meninggal? Pikirkanlah ke mana kau pergi)
Hari ini saya disadarkan lagi, khotbah yang ku dengar dan kurenungkan menegur ku. Jika aku percaya kepada Yesus, maka aku akan diselamatkan, di merdekakan! Untuk menjadi orang percaya tidak cukup membaca, mendengarkan dan mengucapkan firman Tuhan, melainkan melakukan sesuai FirmanNya ,itu yang lebih berharga.Jika demikian saya menjawab pasti " Jika ajalku telah tiba, aku tidak akan toinggal lagi di dalam dunia yang fana, saya akan bersama Tuhanku di Sorga" Itulah jawabku!
Firman Tuhan yang memerdekakan! Selamat memperingati hari kemerdekaan RI , dan aku bertekad untuk merdeka dari sifat sifat kedaginganku.

Kamis, 11 Agustus 2011

Jumat ( Jiwaku Menyukuri Anugerah Tuhan )

Sang ini saya agak santai, jam 11.30 istirahat mengajar, memberi ruang dan waktu bagiku untuk merenung... menyendiri jauh dari keramaian dan sanak keluargaku.saya di kota Padang.
peserta diklatku anak anak muda calon pegawai negeri sipil, aktif , kritis dan bersemangat. Senang rasanya memfasilitasi kaula muda ini, harapanku mereka ini memegang prinsip idealisme menjadi pegawai dan aparatur negara yang bersih dan berwibawa kelak.Semangat belajar terpelihara dan termotivasi untuk belajar dan belajar.
Kesepian memberi ruang kelubuk hati merenungkan anugerah Tuhan, betapa menjelang usia pensiun yang tinggal menghitung hari ... saya masih diberi kesempatan untuk melanglang buana ke kota ini, mayoritas muslim penduduknya, tak seorangpun kristen yang terdaftar sebagai peserta, namun cinta dan kedamaian tercermin di perilaku dn wajah mereka. Terima kasih Tuhan!
Partisipatif salah satu metode yang saya terapkan, di suasana puasa sulit menghindarkan rasa mengantuk...nyatanya tak seorang pun yang ngantuk...hi hi hi... saya abadikan mereka dalam foto kenangan, termasuk hasil diskusinya.Evaluasi akhir menggambarkan daya serapnya cukup tinggi. Lagi lagi aku bersyukur.
Inilah anugerah yang kurasakan hari ini. Terima kasih Tuhan

Rabu, 10 Agustus 2011

Hari hariku dalam kenangan

"Namora tutu sangap Damang i.Ibana nampuna sude artai.Nang sere nang perak nang hepeng sude, tapuji Ibana, Unduk hita be>
Anak konan do ahu, ankkonna do ahu dibahen Tuhan Jesus anakkonna do ahu"
Sering kunyanyikan lagu ni ketika saya menghadapi pergumulan , khususnya mengenai ekonomi keluarga.
Tahun ini salah satu tantangan bagiku adalah "mewujudkan impian anakku untuk studi ke University of Notingham di United Kingdom.
Tentu saja membutuhkan biaya yang cukup besar menurut ukuran ekonomi kami. Antara iman dan fakta sekarang dipertaruhkan.Hari hari masa laluku sering mengalami hal yang sama, namun kali ini benar benar saya pergumulkan. Kucoba menghitung semua tabunganku..., ngak cukup ternyata.Lalu....?
Ah...mengapa mesti menyerah, pikir saya. Dulu dulu juga demikian, mulai merantau ke Jakarta, menjadi Kakak yang bertanggung jawab terhadap dua orang adek adekku yang masih sekolah... samai menikah...,punya anak, suami yang sakit sakitan, ...ah... phuihhh,untuk apa mengenang itu semua? pikirku.
BUat saya sekarang... semua harus tercukupi supaya anakku dapat mengikuti kuliah pada bulan September ini di U K. Tidak perduli per 1 September saya pensiun, tidak kuatir akan kehidupan di masa depan, karena Dia Juruselamatku yang berjanji dan
Saya menyanyi dan menyanyi lagi..." Na mora tutu ...dstnya.
Memang Bapa Ku Kaya, mulia, dan Dialah pemilik segalanya . Pasti Dia yang mencukupkannya. Berangkatlah anakku, capailah cita citamu untuk kemudian kamu terus memuliakan Tuhan dalam karya dan kuliahmu. Yesus besertamu.
Dia , Tuhanku, Yesusku , Penolongku

Kamis, 04 Agustus 2011

Benarkah Muatan kurikulum yang banyak memintarkan anak di Indonesia?

Pertanyaan yang tidak pernah dapat saya jawa sampai saat ini soal kurikulum pendidikan di Indonesia adalah " seberapa besar manfaat banyaknya mata pelajaran terhadap multi kecerdasan anak !
Saya berusaha mencari jawabannya , namun belum juga memuaskan . Tulisan Renald Kazali yang ini salah satu memicu saya untuk berpikir lanjut. Oleh karenanya saya kutip lengkap .
Benarkah Makin Berat, Makin Hebat?
oleh Rhenald Kasali*)

Sebagian besar pembaca mungkin dibesarkan dalam kultur ekonomi sulit, sehingga kaya berbagai peribahasa, seperti: hemat pangkal kaya dan rajin pangkal pandai.
Kita bermain layang-layang, menangkap belut,bermain bersama anak-anak kampung
dengan tiada henti canda, tawa,dan keringat.

Bagaimana anak-anak sekarang? Lahan kosong berganti menjadi kebun sawit atau
perumahan mewah.Tak ada lagi lapangan badminton, arena bermain layang-layang dan
air yang mengalir bening. Tapi anak-anak punya mainan baru, Facebook,Twitter,Online Games, warung internet,dan bimbingan belajar.

Pergaulan fisik diganti dunia maya, statistik, dan ilmu berhitung diganti
kalkulator dan software. Dulu kita hanya belajar sembilan mata pelajaran,
sehingga masih banyak waktu untuk bermain. Bagaimana anakanak kita? Bukannya
dikurangi, melainkan semakin hari yang dipaksakan masuk ke dalam otak anak-anak
kita semakin banyak.

Sementara di Selandia Baru dan banyak negara maju anak anak sekolah hanya
mengambil enam mata pelajaran. Ketika mereka menganut spirit ”The Power of
Simplicity”, kita justru tenggelam dalam spirit benang kusut, ”kalau terlalu
mudah, tidak akan melahirkan kehebatan”.

Bukan hanya itu, di banyak negara, selain dirampingkan, mata ajar wajib juga
dibatasi hanya dua, selebihnya dijadikan pilihan yang dikaitkan karier.
Bagaimana di sini? Mata ajar yang banyak itu adalah mata ajar yang ”sakral”,
wajib diambil semuanya. Kesakralan itu sesungguhnya hanya semu, karena mata ajar
agama disamakan dengan berhitung dan sejarah ala kita, yaitu ala hafal-hafalan.

Ubah Cara Pandang

Namun, sewaktu saya bercerita bagaimana sekolah di Belanda, China, dan Selandia
baru,ada juga orangtua yang protes. Mereka tak menginginkan sekolahnya dibuat lebih
mudah. ”Sekolah itu memang harus sulit dan anak-anak harus berjuang”. Saya dapat
mengerti pandangan ini, karena anaknya termasuk cerdas, tuntas semua mata
pelajaran dengan nilai tinggi.

Namun, saya kurang mengerti bagaimana orang tua rela menyita seluruh waktu masa
muda anaknya hanya untuk belajar. Mendidik bukanlah untuk melahirkan orang-orang
yang tahu semua, tapi selalu bertanya, ”Saya harus melakukan apa?” Ini adalah
realita, semakin banyak ditemui orang tak bisa bekerja dengan prioritas.

Saya juga kurang mengerti kalau pendidik kurang memahami bahwa talenta dan
leadership merupakan kunci untuk mencapai keberhasilan hidup.Untuk itulah,
talenta harus diasah, diberi ruang,dan waktu agar ia tumbuh.Leadership maupun
entrepreneurship diasah dari keseharian di luar bangku sekolah. Diuji dalam
interaksi kehidupan.

Tentu saya bertanya-tanya kalau pendidikan kita dibuat lebih ramping, apakah
benar menjadi lebih baik.Saya selalu teringat masa-masa memulai karier sebagai
penguji di program S-3.Saat seorang tua,kandidat doktor diuji, yang mengajukan
pertanyaan ada 13 orang hebat.

Namanya juga orang hebat, pertanyaannya pasti sulit bagi seorang pemula. Tetapi
semua penguji tidak puas, kandidat digoreng ke kiri, di-ongseng ke kanan hingga
nyaris hangus. Di ruang rapat semua menyatakan tidak puas.Sebagai doktor muda
yang baru kembali dari sekolah doktor, saya tak punya suara yang berarti. Saya
hanya bertanya, ”Beginikah cara Bapak-Bapak menguji seorang calon doktor?”

Semua orang terdiam, dan saya pun terkejut dengan pertanyaan saya. Beberapa
orang menatap tajam, karena mereka adalah mantan guru-guru saya dan terkenal di
hadapan publik.Karena malu telah berkata- kata bodoh,saya teruskan saja berkata
jujur. Saya katakan kita harus percaya diri.

Ujian dengan penguji sebanyak ini menunjukkan kita kurang pede.Lagi pula tak ada
yang bisa lulus dengan ujian seperti ini.Semua dosen hanya marah-marah karena
kepintarannya tak dimengerti orang lain, dan memberi saran yang saling
bertentangan. Saya pun mengatakan,andaikan saya yang diuji di sini, saya
beranij amin saya pun tidak akan lulus.

Pertanyaan ujian terlalu luas.Di Amerika Serikat,kita hanya diuji oleh empat
orang pembimbing, dan bila kita bingung, kita tidak dibantai, malah dibantu. Di
SLTA negara-negara maju,jumlah mata ajar memang ramping,tetapi sejak remaja mereka
sudah biasa membuat makalah dengan kedalaman referensi dan terbiasa bekerja
dengan metode ilmiah.

Demikianlah persekolahan kita. Bukannya disederhanakan, justru dibuat menjadi
lebih kompleks. Semua mata ajar kita anggap sakral. Buku ditambah. Subjek
ditambah. Guru juga ditambah. Saya kadang tak habis berpikir, bagaimana kita
bisa menghasilkan kehebatan dari keribetan ini.

Saya tentu tak akan protes kalau dengan sekolah yang ditempa kesulitan ini, kita
bisa pergi ke bulan. Fakta menunjukkan sebaliknya. Tidakkah kita bertanya,
jangan-jangan ada yang tidak beres dengan kurikulum persekolahan kita? Saya juga
bertanya-tanya, akankah anak-anak dididik dengan baik kalau hanya belajar enam
mata pelajaran seperti di Selandia Baru, Denmark, atau negara-negara industri
lainnya?

Namun, fakta yang saya temui ternyata pendidikan yang hanya fokus pada enam mata
pelajaran itu menempatkan pendidikan Selandia Baru terbaik keenam di dunia.Rasanya
di sana juga tak ada siswa yang kesurupan saat ujian, apalagi contekan massal.
Perlukah kita meremajakan cara berpikir kita?


*) RHENALD KASALI Ketua Program MM UI